Dua Kasus Kriminal di Riau Disetop, Jaksa Terapkan Restorative Justice

Pekanbaru – Langkah progresif diambil Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau dengan menghentikan penuntutan terhadap dua perkara pidana melalui pendekatan Restorative Justice (RJ). Keputusan ini disetujui langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) dalam sidang virtual yang dipimpin Wakajati Riau Rini Hartatie SH., MH., didampingi Aspidum dan jajaran, pada Kamis (20/03/2025).


Kedua perkara yang dihentikan melibatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penadahan barang hasil curian.

Kasus Pertama: Emosi Sesaat Berujung Pelaporan

Tersangka Sokhizaro Ziliwu alias Pak Galang terjerat kasus KDRT setelah emosi saat meminta uang rokok kepada istrinya, Natria Zebua alias Mamagalang, pada 3 Februari 2025. Dalam kondisi mabuk, ia marah, menarik rambut istrinya hingga gagang cangkul yang dipegangnya mengenai tangan korban. Tidak hanya itu, ia juga memukul hidung dan mulut istrinya.

Selama 22 tahun pernikahan, ini adalah kali pertama kekerasan terjadi. Korban yang terkejut akhirnya melaporkan peristiwa tersebut ke polisi. Tersangka pun dijerat Pasal 44 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Namun, setelah melalui proses mediasi, korban memaafkan suaminya, dan mereka sepakat berdamai. Melihat faktor ini serta syarat keadilan restoratif yang terpenuhi, jaksa memutuskan untuk menghentikan penuntutan perkara.

Kasus Kedua: Tak Tahu Laptop yang Dijual Adalah Barang Curian

Kasus lain melibatkan M. Soleh alias Soleh, seorang pekerja bengkel di Rokan Hulu. Pada 9 Januari 2025, ia diminta Hermanto Sihotang untuk mencarikan pembeli sebuah laptop HP hitam. Tersangka berhasil menjualnya seharga Rp320.000 dan menerima upah Rp100.000 serta 3 buah durian.

Belakangan, laptop tersebut diketahui hasil curian dari rumah Lambok Parulian Siahaan dan Sri Megawaty Simatupang pada 2 Januari 2025. Meskipun dijerat Pasal 480 KUHP tentang penadahan, penyidik menemukan bahwa tersangka tidak mengetahui asal-usul laptop tersebut. Dengan adanya kesepakatan damai dan pemenuhan syarat RJ, perkara ini juga dihentikan.

Restorative Justice: Mengutamakan Pemulihan, Bukan Hanya Penghukuman

Penghentian dua perkara ini menjadi bukti nyata penerapan keadilan restoratif di Riau. Wakajati Riau menegaskan bahwa RJ bukan berarti pelaku bebas begitu saja, tetapi lebih pada pemulihan hubungan, pengakuan kesalahan, dan penyelesaian yang lebih adil bagi semua pihak.

Dengan keputusan ini, Kejati Riau menegaskan komitmennya dalam menangani perkara dengan pendekatan yang lebih manusiawi, tanpa mengabaikan hak korban dan prinsip hukum yang berlaku.

Kasipenkum Kejati Riau menambahkan, “Kami berharap pendekatan ini dapat menciptakan harmoni dalam masyarakat dan mengurangi angka kriminalitas yang bisa diselesaikan dengan cara yang lebih bijak.”pungkasnya.