Menunggu Janji Menhut & Kejagung: Usut 1,8 Juta Hektar Kebun Sawit Illegal di Riau

Pekanbaru - Alam selalu mampu memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak mampu mencukupi keserakahannya. (Mahatma Gandhi, Aktivis Kemanusiaan dari India).


Presiden Prabowo Subianto berkomitmen untuk "perang" melawan koruptor, sementara Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni berjanji akan "perang" dengan mafia sawit. Ancaman ini membuat pesawit ilegal mulai ketar-ketir.

"Saya dan Kejagung akan mengusut semua kebun sawit ilegal," kata Menhut kepada pers pada 1 November lalu. Ancaman ini membuat para pekebun ilegal cemas meski harga Tandan Buah Segar (TBS) sedang meningkat. Negara terus dirugikan dalam skala besar, dan komitmen Menhut untuk menindak tegas semakin memicu tantangan.

Menhut, yang berasal dari Riau, diprediksi berharap bahwa pengusutan kebun sawit ilegal dapat mengurangi ketimpangan sosial di wilayah asalnya. Komitmen Menhut ini sangat ditunggu, meskipun terasa seperti ancaman bagi para pesawit ilegal di Riau.

Siapa yang merambah hutan negara? Siapa yang berkebun di Tesso-Nilo? Siapa yang membuat kelompok tani palsu?

Dalam waktu dekat, jika Tuhan mengizinkan, semua kedok para kelompok ini akan terungkap. Ancaman hukuman bagi yang menguasai hutan negara tanpa izin cukup berat: penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 7,5 miliar, sesuai dengan Pasal 78 Ayat 2 dan Pasal 50 Ayat 3 Huruf a Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah oleh Pasal 36 Angka 19 Pasal 78 Ayat 2 Jo. Pasal 36 Angka 17 Pasal 50 Ayat 2 Huruf a Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Trik para pesawit ilegal ini sudah terendus. Mereka mengumpulkan ratusan fotokopi KTP warga sekitar hutan untuk mendirikan kelompok tani palsu. Dengan seratusan fotokopi KTP, mereka bisa membuka kebun sawit hingga 200 hektare. Setelah itu, mereka melalui prosedur legalitas dengan bantuan oknum birokrasi yang masih "matanya hijau" melihat keuntungan besar. Proses land clearing pun dilakukan tanpa peduli pada bencana kabut asap yang timbul akibat kebakaran lahan.

Di Riau, luas kebun sawit ilegal telah mencapai 1,8 juta hektare, lebih dari separuh total kebun sawit di provinsi ini yang berjumlah 3,5 juta hektare. Jumlah ini sangat mengkhawatirkan, mengingat total penduduk Riau yang berjumlah 6,7 juta jiwa, dengan 1,7 juta Kepala Keluarga (KK).

Jika pemerintah berani menyita dan membagi kebun sawit ilegal ini secara merata, setiap KK warga Riau seharusnya bisa memiliki satu hektar kebun sawit. Namun, berdasarkan data Biro Pusat Statistik Riau 2023, jumlah masyarakat miskin di Riau hanya sekitar 648 ribu jiwa atau sekitar 120 ribu KK. Artinya, jika kebun sawit ilegal itu dibagi rata, setiap keluarga miskin bisa mendapatkan 16 hektare kebun sawit.

Namun, ini hanya imajinasi. Tim Satgas Penertiban Sawit Ilegal yang dibentuk Gubernur Riau, Syamsuar, lima tahun lalu, belum menunjukkan hasil yang signifikan. Sementara itu, pesawit ilegal terus merajalela dan memperburuk ketimpangan sosial di Riau.

Harapan terakhir terletak pada komitmen Menhut dan Kejagung untuk merealisasikan penegakan hukum. Jika berhasil, ini bisa mengubah nasib sebagian besar masyarakat Riau yang selama ini menjadi korban ketimpangan akibat penjarahan kekayaan alam mereka.

Masyarakat yang selalu terjebak dalam janji-janji penguasa, berharap ada perubahan nyata. Seperti pepatah lama yang mengatakan: "Hanya perlu rakyat saat pergi berburu."

Sumber : Wahyudi El Panggabean